Kesepian
Tak terasa Ramadhan akan datang menghampiri kembali. Pesta rakyat akan dilaksanakan sebesar-besarnya karena hasil ladang pahala yang melimpah. Dan kebahagiaan akan terukir setiap hari dan setiap detik di bulan suci ini. Bersama dengan malaikat yang sIbuk mencatat kebaikan yang dilakukan para insan.
Allah Maha Adil. Dia tak akan membiarkan hambanya menderita, sedih, dan terpuruk. Aku bisa menjamin itu. Pada awalnya aku juga tak percaya karena saat itu aku sangat menderita dan terpuruk.
....
"Akhirnya buka juga," kataku sambil mengambil segelas sirup.
"Emang kakak puasa?, kakak kan tadi siang batal," celetuk Fifi membuat mata Ibu menatapku dengan tajam. Sepertinya aku akan kena marah dari Ibu.
"Kenapa kamu batal?!" tanya Ibu dengan nada tinggi. Disaat seperti ini tak akan ada yang menolongku bahkan nenek sekalipun. Ini semua gara gara Fifi!, padahal tadi aku sudah kasih dia uang biar gak bilang ke Ibu.
"Kakak juga ngasih aku duit biar gak bilang ke Ibu" kata Fifi. "Nih uangnya," sambil meyerahkan uang yang tadi aku berikan.
FIFI!!. Lihat aja, nanti aku bales.
"Kamu juga nyogok?. Kapan Ibu ngajarin kamu buat nyogok?!" tanya Ibu dengan nada semakin tinggi. Ayah dan nenek hanya diam melihat aku tertunduk dimarahi.
"Fifi juga pernah batal," kataku. "Tapi dia tidak dimarahi," lanjutku.
Memang Ibu tidak pernah memarahiku karena nilaiku jelek. Tapi dia berani memukulku kalau aku tidak sholat atau bahkan puasa.
"Dia kan masih kecil, masih tujuh tahun. Sementara kamu udah kelas lima, udah besar" kata Ibu.
"Ibu udah besar pernah gak puasa, bahkan sampe seminggu" bantahku lagi. Seharusnya Ibuku bisa adil apakah karena aku sudah kelas lima aku boleh dimarah marahi seenaknya.
"Kamu masih kecil jadi gak tahu," jawab Ibu sedikit kebingungan.
"Tadi Ibu bilang aku udah besar dan gak boleh batal puasa. Sekarang Ibu bilang aku masih kecil,"
"Puput!" bentak Ayah menatap tajam kearahku.
"Aku tuh emang selalu salah di mata kalian!" teriakku langsung meninggalkan mereka ke toilet.
Kenapa mereka selalu memarahiku?. Tapi saat Fifi yang melakukan kesalahan mereka malah memanjakannya?. Disaat dia tidak sholat, Ibu membiarkanya padahal usianya sudah tujuh tahun. Sementara saat aku tidak sholat dan batal puasa Ibu memarahiku.
Tiba-tiba terdengar suara Fifi. "Kakak ini uangnya, kata Ibu kembaliin ke kakak" sambil myerahkan uang lima rIbu yang terlipat lipat. Ku ambil uang itu dan kumasukan ke saku celanaku.
"Ini semua gara gara kamu!" bentakku ke Fifi. "Gara gara kamu aku di marahi!" teriakku.
Si Fifi yang manja itu menangis dan mencari muka ke Ibu dan Ayah. Kenapa sih aku harus punya adek kayak dia?.
"Puput!" bentak Ayah. "Kamu kenapa sih?" tanyanya.
"yang kenapa tuh Ayah sama Ibu," jawabku. Terlihat wajah Ayah sangat marah saat aku menjawabnya.
"Ayo kita pulang," Ayah menarik tangaku untuk pulang kerumah. Dan sebelumnya kami berpamitan dahulu kepada nenek
Kami pulang kembali kerumah menggunakan kereta komuterline jabodetabek seperti saat kami berangkat tadi. Dan keadaan statsiun lebih ramai dari pada saat kita berangkat.
Si manja Fifi dibelikan es krim oleh Ayah sementara aku tidak. Hal itu membuatku tambah kesal kepada mereka. Kenapa sih mereka tidak bisa adil?. Kenapa mereka selalu memarahiku?. Kutendang batu rel kereta sekencang kencangnya. Sialnya batu itu mengenai seorang penjaga.
"Pak anaknya tolong di jaga yah" tegur penjaga itu sedikit menggunakan nada tinggi.
"Puput!" teriak Ayah kepadaku dengan sangat marah. Ibu juga memarahiku.
"Ayah sama Ibu gak pernah sayang sama aku!" teriakku kepada Ayah dan Ibu sambil berlari menyebrang rel.
"Puput tunggu!" teriak mereka bersamaan sambil mengejar aku.
Aku berlari dengan kesal tanpa menghiraukan mereka. Dan saat aku sudah berada di seberang rel. Tiba tiba,
TUUUNN.. TUUUNN.. TUUUNN
AARGHH..
Kereta lewat dengan tiba tiba dan darah bermuncratan kemana-mana. Tiga orang tewas seketika tertabrak kereta langsung.
"IbuU!!!.. AyahH!!.. FIFIII!" triakku sekencang kencangnya saat melihat tubuh mereka hancur dan berterbangan kesegala arah.
...
Aku kini sedang terbaring di rumah sakit. Dokter bilang aku pingsang dengan darah yang berlumuran di tubuhku. Darah keluargaku.
"Kamu akan tinggal bersama kami nak," kata seorang wanita separuh baya kepadaku.
"Ibu siapa?, dan untuk apa aku tinggal bersama anda?. Aku akan tinggal bersama nenekku,"
"Saya Ibu Khodijah. Saya adalah ketua Panti Asuhan Amanah," katanya memperkenalkan diri. "Kamu akan tinggal bersama kami karena," dia diam sejenak sambil menatapku lamat-lamat. "Nenek kamu meninggal karena serangan jantung saat tahu bahwa keluarga kamu meninggal,"
Setelah mendengar kabar itu tubuhku sangat lemas, rasanya tubuhku sudah tak bernyawa, dan jantungku sudah tak berdetak. Tak cukup kematian keluargaku yang kulihat dengan mataku sendiri, nenek juga pergi meninggalkanku. Aku tak sanggup hidup lagi.
Mengapa ini terjadi?. Kenapa aku tidak ikut dengan keluargaku?. Dan untuk apa aku hidup sendiri di dunia ini?.
Ku tak punya apa apa lagi. Tak ada siapa siapa lagi, tak ada kasih sayang lagi, tak ada senyuman lagi, tak ada tawa lagi, tak ada keceriaan lagi, dan tak ada harapan lagi.
Yang terburuk, aku tak sempat meminta maaf kepada keluargaku karena diriku ini mereka meninggal dengan mengenaskan. Seharusnya aku tak lari menyebrang rel, seharusnya aku tak menendang batu, seharusnya aku tidak marah kepada mereka, seharusnya aku tak membuat mereka marah, seharusnya aku tak batal puasa dan meninggalkan sholat. Aku menyesal!. Hanya karena batal puasa aku kehilangan semuanya!.
Kenapa bukan aku saja yang tertabrak kereka?. Kenapa bukan aku?!. Aku yang salah, aku yang salah!. Kenapa mereka yang harus menerimanya?.
Tak sadar aku merogoh saku celanaku. Dan kudapati selembar uang lima rIbu terlipat yang di berikan oleh Fifi.
Kubuka lipatan uang itu dan ternyata terselip selembar kertas yang terdapat sebuah tulisan.
Puput, Maafkan Ibu, Ayah dan Fifi ya nak..
Air mataku mengalir lebih deras. Seharusnya aku yang meminta maaf bu, seharusnya aku. Dan seharusnya aku yang tertabrak oleh kereta tadi. Maafkan aku..
....
Kejadian itu adalah kejadian tak terlupakan bagiku. Tapi aku mengambil sebuah pelajaran berharga dari kejadian itu. Bahwa kita tak akan pernah sendiri, tuhan akan selalu menemaniku dan selalu mengirim malaikat untuk menemaniku. Semenjak kejadian itu pula aku tak pernah batal puasa dan selalu sholat tepat waktu serta menjalankan amal ibadah lainnya.
Aku tak pernah menyangka akan hidup di sebuah panti asuhan bersama dengan anak anak lainnya. Walau pada awalnya aku merasa tertekan dan berniat untuk bunuh diri, tapi aku mengerti bahwa aku tak akan pernah kespian, kecewa, dan terpuruk.
Allah selalu ada bersamaku dan selalu menolongku. Dia juga memberikanku keluarga baru yang kasih sayangnya tak kalah dengan keluarga lamaku. Mereka membuatku tak merasa kesepian dan selalu bahagia di bulan Ramadhan Terimakasih ya Allah..
__________________Iz__________________
Cerita ini hanya fiktif dan dIbuat hanya untuk menghIbur dan sedikit memberikan pesan moral. Maaf jika ada kesalahan baik dalam ejaan maupun tanda baca.
Jika kalian suka terhadap cerita ini jangan lupa untuk share kepada orang lain agar mereka dapat menikmati juga.
Dan jika kalian memiliki kritik atau saran dapat kirim melalui kolom komentar atau [Hubungi Kami].

wahh keren, sampe nangis tersedu-sedu ...
ReplyDelete